Tuberkulosis (Tbc) atau sering disebut sebagai flek paru merupakan penyakit yang tengah dieliminasi di Indonesia. Tak heran di daerah-daerah pelosok sudah banyak laboratorium sederhana untuk mendiagnosis penyakit ini, yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya bakteri M. tuberkulosis pada dahak yang sudah diberi zat warna khusus. Kelemahan teknik ini adalah masih ada 60-80 persen dahak positif bakteri Tb yang tidak terdeteksi karena kandungan bakterinya tidak cukup banyak untuk dilihat di mikroskop.
Alan Poling, profesor psikologi dari Universitas Michigan Barat menemukan solusi cukup sederhana untuk mengatasi masalah itu. Dia menggunakan penciuman tikus berkantung Gambia untuk mendiagnosis dahak mana yang mengandung kuman dan tidak mengandung kuman. Tikus Gambia merupakan tikus yang banyak ditemukan di dataran Sub Sahara. Badannya besar, pipinya gemuk, dan ekornya panjang. Di tempat asalnya, tikus ini digunakan untuk mendeteksi tanah yang mengandung bahan tambang. Sementara di Tanzania, tikus ini sudah digunakan sebagai alat diagnosis Tbc.
Kemampuan tikus ini untuk mendeteksi Tbc tidak semata-mata begitu saja, melainkan melalui latihan. Sejak mulai membuka mata (usia 4 minggu), tikus ini sudah diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium. Saat usia 8 minggu tikus ini dilatih untuk mencium sampel dahak yang positif mengandung kuman Tbc. Dua sampel dahak yang mengandung kuman Tbc dan non Tbc ditaruh dalam dua lubang dan tikus Gambia ini diperintahkan untuk mengendusnya. Saat mengendus lubang yang mengandung dahak berkuman Tbc selama lebih dari 5 detik, tikus ini akan mendapatkan hadiah berupa kacang dan pisang, tp tidak pada lubang satunya. Sehingga seterusnya tikus ini akan selalu memilih berlama-lama di lubang yang menyimpan dahak yang mengandung kuman Tbc. Pada usia 26 minggu tikus ini sudah ahli dalam membedakan sampel dahak.
Dr. Poling dan rekan-rekannya kemudian meneliti sensitivitas dan spesifisitas tikus berkantung Gambia ini sebagai alat diagnosis Tbc. Hasilnya tertulis di The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, didapatkan sensitivitas (kemampuan mendeteksi adanya kuman tuberkulosis) sebesar 86,6 persen dan spesivitas (kemampuan mendeteksi tidak adanya kuman tuberkulosis pada dahak yang normal) sebanyak 93 persen. Tes lain malahan menyatakan bahwa tikus ini bisa menemukan 44 persen lebih banyak dahak positif tuberkulosis dibandingkan dengan mikroskop.
Walau begitu, masih banyak ilmuwan yang skeptis dengan teknik tikus ini, salah satunya Dr. Neil W. Schinger, profesor ahli paru dari Universitas Colombia. Beliau meragukan apakah tikus yang sama masih akan memiliki kemampuan yang sama 1 tahun ke depan; apakah tikus ini harus dilatih terus oleh orang yang sama; apakah kandang dan laboratoriumnya harus sama; lalu bagaimana standar perawatan tikusnya. Namun beliau berpendapat kemungkinan digunakannya tikus ini sebagai screening awal Tbc masih memungkinkan.
Sumber: New York Times Health
Tidak ada komentar:
Posting Komentar