Senin, 10 Januari 2011

Imunisasi Menyebabkan Autis? Terbukti Tidak Benar


Banyak ibu muda sekarang yang memilih untuk tidak mengimunisasi anaknya, karena ketakutan akan menimbulkan efek samping, salah satunya memicu penyakit autis pada anak mereka. Apalagi semenjak dipublikasikannya penelitian oleh Andrew Wakefield dan koleganya pada jurnal kedokteran Lancet pada tahun 1998 yang menyatakan bahwa imunisasi MMR (Measles, Mumps, Rubella) bisa menyebabkan autisme pada anak. Wakefield mengikuti perkembangan 12 anak yang sebelumnya normal, namun kemudian menjadi autis setelah diberikan vaksin MMR.

Setelah muncul hasil penelitian tersebut, jumlah anak-anak yang diimunisasi di Inggris dan Amerika menurun drastis. Karena itu beberapa peneliti mencoba melakukan penelitian-penelitian lain yang melibatkan jutaan anak-anak untuk membuktikan kebenaran Wakefield. Hasilnya semua sama, vaksin MMR tidak berhubungan dengan penyakit autis. Melihat fakta-fakta ini, 10 dari kolega yang ikut meneliti bersama Wakefield menyatakan mengundurkan diri dari penelitiannya, bahkan Lancet mencabut publikasi penelitian Wakefield dari jurnalnya.

Namun tetap saja para orang tua masih banyak yang enggan anaknya diimunisasi. Akibatnya pada tahun 2008 terjadi endemi campak di Eropa dan Amerika. Lalu pada tahun 2010 tercatat rekor terbanyak kasus batuk rejan (pertusis) dalam 55 tahun terakhir. Hal ini menjadi perhatian serius dari otoritas kesehatan disana.

Akhirnya baru-baru ini BMJ (British Medical Journal) menerbitkan tulisan jurnalis Inggris, Brian Deer, yang menganalisis penelitian Wakefield. Deer menyebut penelitian Wakefield dan koleganya sebagai penipuan, karena banyak ditemukan kejanggalan, salah satunya karena tidak disertakannya data-data riwayat penyakit pasien/partisipan. Lima dari 12 anak tersebut ternyata sejak awal sudah memiliki gangguan perkembangan mental. Data yang didapat dari riwayat penyakit anak ternyata tidak konsisten dengan data dari orang tua pasien.

Vaksin MMR biasanya tidak diberikan sampai anak berusia 12 - 16 bulan. Selama masa itu gejala-gejala ringan autis mulai muncul pada anak. Makanya Wakefield dan koleganya dengan mudah bisa memilih anak-anak mana yang menjadi subyek penelitiannya. Ketika gejala autis muncul bersamaan dengan pemberian vaksin, bukan berarti vaksin tersebut yang menyebabkan autis.

Bulan Mei lalu izin praktik Wakefield dicabut oleh pemerintah Inggris. Namun Wakefield tetap bertahan pada argumentasinya. Kini dia tinggal di Amerika dan mendapat dukungan beberapa selebritis seperti Jenny McCarthy.

Akhirnya semua kembali pada para orang tua. Orang tua memiliki kewajiban untuk melindungi anaknya dan juga orang lain dari penyakit yang bisa dihindari sejak awal.

Diolah dari berbagai sumber.

Selasa, 04 Januari 2011

Semakin Cepat Berjalan Maka Semakin Panjang Umurnya



Iklan-iklan suplemen atau produk susu sering mengajak konsumen untuk berjalan kaki supaya lebih sehat. Hal itu memang benar, terutama bila dilakukan secara rutin minimal 30 menit sehari. Penelitian terbaru dari Universitas Pittsburgh bahkan menyatakan bahwa orang yang berjalan sama dengan atau lebih cepat dari 1 meter/detik akan memiliki umur yang lebih panjang dibandingkan rekannya yang berusia dan berjenis kelamin sama yang berjalan lebih lambat.

Dr. Stephanie Studenski, profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Pittsburg menjelaskan hubungan tersebut. Kemampuan kita untuk bergerak dan berjalan merupakan gambaran dari vitalitas dan kesehatan diri kita. Cara dan seberapa cepat kita berjalan membutuhkan energi, kontrol gerakan, dan koordinasi. Kesemuanya itu akan bisa dilakukan jika sistem organ kita yaitu jantung dan pembuluh darah, saraf, serta tulang dan otot berfungsi sempurna. Sehingga dengan mengukur kemampuan berjalan seseorang maka dapat diketahui status kesehatan orang tersebut.

Dr. Studenski kemudian meneliti kaitan berjalan dengan harapan hidup seseorang. Dia dan rekan-rekannya menganalisis 9 penelitian sebelumnya yang meneliti mengenai kecepatan berjalan, jenis kelamin, umur, indeks massa tubuh, riwayat penyakit, dan harapan hidup pada hampir 34.500 orang. Kemudian beberapa kelompok orang dengan usia harapan hidup tertentu diukur kecepatan berjalannya pada lintasan 4 meter.

Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa kecepatan rata-rata berjalan yang dibutuhkan supaya usia bisa sesuai dengan angka harapan hidupnya yaitu 0,8 meter/detik. Yang mampu berjalan 1 meter/detik atau lebih akan memiliki usia yang lebih panjang dibandingkan angka harapan hidupnya. Hasil ini terutama akurat untuk mereka yang berusia di atas 75 tahun. Sehingga pada orang tua, kecepatan berjalan disarankan untuk dijadikan salah satu tanda vital yang dapat diukur selain tekanan darah dan denyut jantung.

Namun para peneliti tidak berpendapat bahwa supaya berumur lebih panjang maka harus berjalan lebih cepat. Hal ini karena tubuh kita memilih kecepatan berjalan yang sesuai dengan kondisi kesehatan kita, sehingga kecepatan ini yang menjadi indikator kesehatan kita, bukan sebaliknya. Kemudian kita berjalan lebih cepat tidak semata-mata membuat hidup kita lebih lama.

Penelitian ini akan dipublikasikan pada Journal of The American Medical Association.

Sumber: My Health News Daily

Senin, 03 Januari 2011

Tikus untuk Mendiagnosis Tbc



Tuberkulosis (Tbc) atau sering disebut sebagai flek paru merupakan penyakit yang tengah dieliminasi di Indonesia. Tak heran di daerah-daerah pelosok sudah banyak laboratorium sederhana untuk mendiagnosis penyakit ini, yaitu dengan menggunakan mikroskop untuk mengetahui ada tidaknya bakteri M. tuberkulosis pada dahak yang sudah diberi zat warna khusus. Kelemahan teknik ini adalah masih ada 60-80 persen dahak positif bakteri Tb yang tidak terdeteksi karena kandungan bakterinya tidak cukup banyak untuk dilihat di mikroskop.

Alan Poling, profesor psikologi dari Universitas Michigan Barat menemukan solusi cukup sederhana untuk mengatasi masalah itu. Dia menggunakan penciuman tikus berkantung Gambia untuk mendiagnosis dahak mana yang mengandung kuman dan tidak mengandung kuman. Tikus Gambia merupakan tikus yang banyak ditemukan di dataran Sub Sahara. Badannya besar, pipinya gemuk, dan ekornya panjang. Di tempat asalnya, tikus ini digunakan untuk mendeteksi tanah yang mengandung bahan tambang. Sementara di Tanzania, tikus ini sudah digunakan sebagai alat diagnosis Tbc.

Kemampuan tikus ini untuk mendeteksi Tbc tidak semata-mata begitu saja, melainkan melalui latihan. Sejak mulai membuka mata (usia 4 minggu), tikus ini sudah diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium. Saat usia 8 minggu tikus ini dilatih untuk mencium sampel dahak yang positif  mengandung kuman Tbc. Dua sampel dahak yang mengandung kuman Tbc dan non Tbc ditaruh dalam dua lubang dan tikus Gambia ini diperintahkan untuk mengendusnya. Saat mengendus lubang yang mengandung dahak berkuman Tbc selama lebih dari 5 detik, tikus ini akan mendapatkan hadiah berupa kacang dan pisang, tp tidak pada lubang satunya. Sehingga seterusnya tikus ini akan selalu memilih berlama-lama di lubang yang menyimpan dahak yang mengandung kuman Tbc. Pada usia 26 minggu tikus ini sudah ahli dalam membedakan sampel dahak.

Dr. Poling dan rekan-rekannya kemudian meneliti sensitivitas dan spesifisitas tikus berkantung Gambia ini sebagai alat diagnosis Tbc. Hasilnya tertulis di The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, didapatkan sensitivitas (kemampuan mendeteksi adanya kuman tuberkulosis) sebesar 86,6 persen dan spesivitas (kemampuan mendeteksi tidak adanya kuman tuberkulosis pada dahak yang normal) sebanyak 93 persen. Tes lain malahan menyatakan bahwa tikus ini bisa menemukan 44 persen lebih banyak dahak positif tuberkulosis dibandingkan dengan mikroskop.

Walau begitu, masih banyak ilmuwan yang skeptis dengan teknik tikus ini, salah satunya Dr. Neil W. Schinger, profesor ahli paru dari Universitas Colombia. Beliau meragukan apakah tikus yang sama masih akan memiliki kemampuan yang sama 1 tahun ke depan; apakah tikus ini harus dilatih terus oleh orang yang sama; apakah kandang dan laboratoriumnya harus sama; lalu bagaimana standar perawatan tikusnya. Namun beliau berpendapat kemungkinan digunakannya tikus ini sebagai screening awal Tbc masih memungkinkan.

Sumber: New York Times Health